Hingga kini perkara bid’ah masih saja diperselisihkan. Baik dalam teori
maupun praktiknya. Sebagian orang menganggap bid’ah sebagai sesuatu
yang salah dan harus diluruskan. Dan sebagian yang lain memposisikan
bid’ah sebagai suatu kreatifitas yang dibolehkan selama tidak menerjang
rambu-rambu al-Qur'an dan as-sunnah.
Mengenai perkara bid’ah ini
Muallim Syafi’i Hadzami ulama Betawi menerangkan dengan cukup panjang
dalam bukunya Taudhihul Adillah juz tiga. Muallim Syafi’i memulai
tulisannya dengan menukil perkataan As-Syatibi dalam kitabnya
al-I’tisham begini kalimatnya:
أصل مادة بدع للاختراع على غير مثال
سابق ومنه قوله تعالى بديع السموات والأرض اى مخترعهما من غير مثال سابق
وقوله تعالى قل ما كنت بدعا من الرسل اى ما كنت اول من جاء بالرسالة من
الله الى العباد بل تقدمنى كثير من الرسل ويقال ابتدع فلان بدعة اذا ابتداْ
طريقة لم يسبق اليها. وهذا امر بديع يقال فى الشيئ المستحسن الذى لا مثل
له فى الحسن.
Kata bada’a pada mulanya menunjukkan arti
mengada-adakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Seperti dalam firman
Allah ‘بديع السموات والأرض’ (Allah menciptakan tujuh lapis langit dan
bumi) maksudnya Dialah Allah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh
sebelumnya. Begitu pula firman-Nya dalam ayat ‘قل ما كنت بدعا من
الرسل’(katakanlah Muhammad “bukanlah aku ini Rasul yang diutus
mula-mula/pertama kali) maksudnya bahkan sebelumku (Muhammad) telah
banyak Rasul yang diutus Allah swt.Ddalam bahasa Arab kata bid’ah juga
sering digunakan seperti kalimat ‘ إبتدع فلان بدعة’ (si fulan telah
merintis satu jalan yang belum pernah didahului orang lain). Atau juga
dalam kalimat ‘هذا أمر بديع’ (ini adalah perkara yang indah) yaitu
perkara yang indah dan belum pernah ada tandingannya.
Demikian
Muallim Syafi’i Hadzami memulai keterangan tentang arti bid’ah dari sisi
kebahasaan. Karena kata bid’ah itu berasal dari bahasa Arab maka yang
menjadi rujukan juga penggunaan kata tersebut dalam keseharian
masyarakat Arab. Selanjutnya dijabarkan bahwa kata bid’ah digunakan
untuk menunjuk suatu hasil atu karya. Sedangkan proses pekerjaannya
(berkreasi) dikatkan ibda’.
Dengan demikian bid’ah merupakan
hasil pekerjaan yang bisa terkena hukum, bukan hukum itu sendiri. Karena
pada hakikatnya hukum syar’i itu cuma lima yaitu wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah. Tidak ada bid’ah di dalamnya. Jadi sangat tidak tepat
jika dikatakan “yang begini atau begitu hukumnya bid’ah”. Intinya
keterangan ini menegaskan bahwa bid’ah bukanlah termasuk hukum syar’i.
Adapun secara istilah Muallim Syafi’i Hadzami memberi pemahaman bid’ah
sebagaimana dipergunakan dan difahami kebanyakan orang Indonesia
sebagai suatu amalan yang tidak ada dalil syara’nya. Bid’ah biasa
dijadikan pembanding dengan sunnah yaitu sesuatu yang ada dalil
syar’inya.
Selanjutnya Muallim Syafi’i Hadzami menjelaskan rincian macam bid’ah dengan diawali pendapat Imam Syafi’i katanya
البدعة بدعتان بدعة محمودة و بدعة مذمومة فما وافق السنة فهو محمود وماخالفها فهو مذموم
Bida’ah itu ada dua macam. Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Maka mana-mana yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji, dan
mana-mana yang menyalahinya itulah yang tercela
Ini merupakan
dalil pertama yang digunakan oleh Muallim Syafi’i Hadzami menunjukkan
adanya dua macam bid’ah. Penunjukan dalil ini tidaklah sembarangan,
mengingat otoritas Imam Syafi’i sebagai salah satu peletak dasar madzhab
syafi’i yang telah diakui secara mufakat hasil ijtihadnya.
Guna
menguatkan dan menjelaskan rincian bid’ah ini, Muallim Syafi’i Hadzami
mengambil satu pendapat lagi dari Al-Baihaqi sebagaimana tersebut dalam
manakibnya:
المحدثات ضربان ما احدث يخالف كتابا اوسنة او اثرا او
اجماعا فهذه بدعة الضلالة وما احدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه
بدعة غير مذمومة
Segala yang diadakan itu ada dua macam. Sesuatu
yang diadakan padahal menyalahi kitab atau sunnah atau atsar ataupun
ijma’ maka inilah bid’ah yang sesat. Sedangkan apa-apa yang baik yang
diadakan yang tidak bertentangan dengan tersebut (kitab atau sunnah atau
atsar ataupun ijma’) maka itulah bid’ah yang tidak tercela.
Sampai di sini semakin jelas bahwa pemahaman tentang bid’ah sebagai
sesuatu kreasi baru tidaklah sesederhana pemahaman hitam dan putih.
Karena tidak semua yang baru itu dapat dianggap sesat. Mengingat banyak
hal-hal baru yang tidak ada di zaman Rasulullah saw juga baik.
Dalam rangka menklasifikasikan bid’ah Muallim Syafi’i Hadzami
memperjelas dengan pendapat Al-Hadidi dalam Syarah Nahjul Balaghah
menyatakan yang artinya demikian “lafald bid’ah dipakai untuk dua
pengertian. Salah satunya yang untuk menunjukkan sesuatu yang melanggar
al-Qur’an dan as-sunnah semisal puasa di hari idul adha ataupu pada
hari-hari tasyriq. Karena puasa pada hari-hari tersebut dilarang.
Pengertian kedua, kata bid’ah digunakan untuk menunjuk sesuatu pekerjaan
yang dilakukan tanpa dasar nash, namun syara’ membiakannya. Dan
kemudian biasa dilakukan oang-orang Islam setelah wafatnya Rasulullah
saw. Adapun hadits yang berbunyi “ كل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار “
setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan masuk neraka dapat
diperuntukkan terhadap makna bid’ah yang pertama. Sedangkan perkataan
sayyidina Umar as. Sehubungan dengan shalat tarawih berjama’ah yang
berbunyi “ إنها لبدعة ونعمت البدعة هي “ sesungguhnya yang demikian ini
bid’ah dan inilah sebaik-baik bid’ah. Dapat diaterapkan pada pemahaman
makna bid’ah yang kedua.
Demikianlah pendapat Muallim Syafi’i
Hadzami mengenai arti bid’ah sebagaimana diterbitkan dalam bukunya
Taudhihul Adillah jilid ke III. Sesungguhnya pengambilan berbagai
rujukan ini merupakan bukti betapa luasnya pengetahuan agama Muallim
Syafi’i di satu sisi. Dan pada sisi lain menunjukkan ketawadhu’annya
sebagai seorang alim yang tidak mau menunjukkan pendapat sendiri selagi
masih ada rujukan para ulama.