Jawaban II Atas Tuduhan Bahwa Tahlilan Menyebabkan Mayit Terancam Siksa Di Alam Kubur

Untuk memudahkan para pembaca dalam memahami masalah yang ditulis oleh Ust Abu Ibrahim Al-Falimbani ini, beliau memakai premis mayor (pernyataan umum) dan premis minor (pernyataan khusus), lalu menarik sebuah kesimpulan (Natijah / Konklusi). Dalam istilah ilmu Mantiq ada kemiripan dengan istilah Muqaddimah Kubra dan Muqaddimah Shughra.
Premis mayor yang ia sampaikan adalah (hadis) mayit akan disiksa karena ratapan keluarga kepadanya. Premis minornya adalah (hadis) bahwa berkumpul di rumah mayit dan dibuatkan makanan adalah termasuk ratapan untuk mayit. Lalu ditariklah kesimpulan bahwa Tahlilan (selamatan di rumah duka) adalah ratapan untuk mayit sehingga mayit diancam akan disiksa di kuburnya.
Pada penjelasan sebelumnya para imam ahli hadis sudah menegaskan bahwa ratapan untuk mayit itu ada ketentuan khusus, misalnya ia berwasiat agar mayatnya diratapi. Bahkan sebagian ulama mengkhususkan hadis ratapan ini kepada mayit wanita orang Yahudi saja seperti dalam Asbabul Wurudnya. Karena premis mayornya cacat, maka kesimpulannya pun juga pasti salah. Saya tidak perlu bicara lebih panjang dalam kesalahan fatal ini.


"Selamatan" Di Rumah Duka
Inilah polemik yang tidak pernah berkesudahan. Bagi mereka yang melarang, diantaranya ada dari Madzhab Syafi'iyah yang memakruhkan, adalah menggunakan dalil atsar dari Sahabat Jarir tentang berkumpul di rumah mayit dan dibuatkan makanan adalah termasuk ratapan. Riwayat ini dinilai sahih oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu' dan juga oleh ulama lain. Namun ada juga yang menilai dlaif yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (saya uraikan di buku saya 'Tahlilan Bidah Hasanah')
Namun jangan disangka tidak ada ulama yang membolehkan, tetap ada. Yaitu dengan berdalil dari kitab Sahih Bukhari dan Muslim:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ التَّلْبِيْنَةُ مَجَمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ (رواه البخاري رقم 5417 ورقم 5689 في الطب باب التلبينة للمريض وفي الأطعمة باب التلبينة ومسلم رقم 2216 في السلام باب التلبينة مجمة لفؤاد المريض)
"Diriwayatkan bahwa ketika keluarga Aisyah ada yang wafat maka wanita-wanita berkumpul, kemudian mereka pulang kecuali keluarga dan orang-orang tertentu saja. Aisyah memerintahkan untuk memasak semacam makanan adonan yang disebut Talbinah. Aisyah berkata: Makanlah! Karena saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Talbinah dapat memperteguh hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesusahannya" (HR al-Bukhari No 5417, No 5689 dan Muslim No 2216)
Lihatlah dalam atsar (dalil dari Sahabat) ini, Sayidah Aisyah membiarkan beberapa keluarganya dan orang-orang khususnya berada di rumah duka dan dibuatkan makanan. Dan Sayidah Aisyah tidak menyatakan ini sebagai ratapan. Kalau ada yang menyanggah itu kan tidak banyak orangnya? Jawabannya apakah niyahah itu dibedakan antara banyak dan sedikit orang? Lagian, saat Tahlilan di rumah mayit dan diberikan makanan juga orang tertentu saja, tidak semua warga kampung.
Web yang dikelola ulama Salafi berikut mengomentari atsar Aisyah diatas:
قلت : وفي هذا الحديث ذكر اجتماع النساء عند أهل الميت وهو ليس مما ينكر إن كان من غير تكلف أو نياحة أو تحمل مؤنة على أهل الميت مع مراعاة عدم طول المكث وعدم البيات لمن ليست من أهل الميت كما جاء في الأثر
Saya berkata: Hadis ini menyebutkan berkumpulnya para wanita di rumah keluarga mayit. Ini bukan termasuk sesuai yang diingkari, jika tidak ada kesulitan, ratapan, atau tidak ada beban biaya bagi keluarga mayit, dengan tetap menjaga tidak berdiam diri lama ataupun menginap bagi selain keluarga mayit. Seperti yang terdapat dalam atsar. (Selanjutnya silahkan dibaca: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=331858)
Demikian pula yang terjadi di negeri kita makanan yang dibuat Tahlilan adalah sumbangan dari para tetangga, kerabat, kawan dan sebagainya, seperti yang terdapat dalam fatwa Sayid Ali Muhammad bin Husain al-Maliki tentang tradisi di Jawa:
اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ ِلاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ "اصْنَعُوْا ِلاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا" وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم تنوير الحجا )
"Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: 'Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far' dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman" (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)
Bersambung, ini syaa Allah....
Ma'ruf Khozin, Anggota Aswaja NU Center PWNU Jatim
Jawaban I

Lihat Juga Dalil-dalil Amaliah yang lain ada di web saya berikut: