BERDALIL SECARA SERAMPANGAN
1.Dalil tentang tuduhan “menambah-nambahi agama” yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid’ah.
2.Dalil tentang tuduhan “membuat-buat syari’at”.
3.Dalil tentang tuduhan “Beragama Tradisi” atau “Fanatik Terhadap Tokoh Bid’ah”
4.Dalil tentang tuduhan “Mendahului Allah dan Rasul-Nya”
5.Dalil tentang tuduhan “Berlebihan Dalam Urusan Agama”.
membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid’ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid’ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya- lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid’ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan “salah” pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid’ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid’ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual).
1.Dalil tentang tuduhan “menambah-nambahi agama” yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid’ah.
2.Dalil tentang tuduhan “membuat-buat syari’at”.
3.Dalil tentang tuduhan “Beragama Tradisi” atau “Fanatik Terhadap Tokoh Bid’ah”
4.Dalil tentang tuduhan “Mendahului Allah dan Rasul-Nya”
5.Dalil tentang tuduhan “Berlebihan Dalam Urusan Agama”.
membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid’ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid’ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya- lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid’ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan “salah” pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid’ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid’ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual).
Wahabi bagaikan tuhan... Semua amaliah harus di laporkan... Bila amaliah tidak di setujui maka masuk neraka (versi wahabi)
WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100, dan ke 1000. Kalau tidak anda akan masuk neraka.”
SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000?”
WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula.”
SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”
WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”
SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”
WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut, orang-orang Hindu melakukan kesyirikan.”
SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ. (رواه الطبراني في الكبير والأوسط، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير).
“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.
WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.”
SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama?”
SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda.
WAHABI: “Anda harus meninggalkan Tahlilan 7 hari, hari ke 40, 100, dan ke 1000. Kalau tidak anda akan masuk neraka.”
SUNNI: “Apa alasan Anda mewajibkan kami meninggalkan Tahlilan tujuh hari, hari ke-40, 100 dan 1000?”
WAHABI: “Karena itu tasyabbuh dengan orang-orang Hindu. Mereka orang kafir. Tasyabbuh dengan kafir berarti kafir pula.”
SUNNI: “Owh, itu karena Anda baru belajar ilmu agama. Coba Anda belajar di pesantren Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Anda tidak akan bertindak sekasar ini. Anda pasti malu dengan tindakan Anda yang kasar, dan sangat tidak Islami. Ingat, Islam itu mengedepankan akhlaqul karimah, budi pekerti yang mulia. Bukan sikap kasar seperti Anda.”
WAHABI: “Kalau begitu, menurut Anda acara Tahlilan dalam hari-hari tersebut bagaimana?”
SUNNI: “Justru acara dzikir Tahlilan pada hari-hari tersebut hukumnya sunnah, agar kita berbeda dengan Hindu.”
WAHABI: “Mana dalilnya? Bukankah pada hari-hari tersebut, orang-orang Hindu melakukan kesyirikan.”
SUNNI: “Justru karena pada hari-hari tersebut, orang Hindu melakukan kesyirikan dan kemaksiatan, kita lawan mereka dengan melakukan kebajikan, dzikir bersama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan Tahlilan. Dalam kitab-kitab hadits diterangkan:
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ. (رواه الطبراني في الكبير والأوسط، وصححه الحافظ السيوطي في الجامع الصغير).
“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah di antara kaum yang lalai kepada Allah, sederajat dengan orang yang sabar di antara kaum yang melarikan diri dari medan peperangan.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [9797] dan al-Mu’jam al-Ausath [271]. Al-Hafizh al-Suyuthi menilai hadits tersebut shahih dalam al-Jami’ al-Shaghir [4310]).
Dalam acara tahlilan selama tujuh hari kematian, kaum Muslimin berdzikir kepada Allah, ketika pada hari-hari tersebut orang Hindu melakukan sekian banyak kemungkaran. Betapa indah dan mulianya tradisi tahlilan itu.
WAHABI: “Saya tidak menerima alasan dan dalil Anda. Bagaimanapun dengan Tahlilan pada 7 hari kematian, hari ke-40, 100 dan 1000, kalian berarti menyerupai atau tasyabbuh dengan Hindu, dan itu tidak boleh.”
SUNNI: “Itu karena Anda tidak mengerti maksud tasyabbuh. Tasyabbuh itu bisa terjadi, apabila perbuatan yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari-hari tersebut persis dengan apa yang dilakukan oleh orang Hindu. Kaum Muslimin Tahlilan. Orang Hindu jelas tidak Tahlilan. Ini kan beda.”
WAHABI: “Tapi penentuan waktunya kan sama?”
SUNNI: “Ya ini, karena Anda baru belajar ilmu agama. Kesimpulan hukum seperti Anda, yang mudah mengkafirkan orang karena kesamaan soal waktu, bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
WAHABI: “Kok bisa berakibat mengkafirkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa kesamaan waktu itu tidak menjadi masalah, selama perbuatannya beda.
Coba Anda perhatikan hadits ini:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ. (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai penghormatan kepada si mati.
WAHABI: “Owh, iya ya.”
SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
WAHABI: “Ya, baca Kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”
WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas, sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf, dan gengsi belajar agama kepada para Kiai Pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”
WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”
SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silahkan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ اْلأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ اْلأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ. (رواه أحمد والنسائي وصححه ابن خزيمة وابن حبان).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad, melebihi puasa pada hari-hari yang lain. Beliau bersabda: “Dua hari itu adalah hari raya orang-orang Musyrik, aku senang menyelisihi mereka.” (HR. Ahmad [26750], al-Nasa’i juz 2 hlm 146, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits di atas jelas sekali, karena pada hari Sabtu dan Ahad, kaum Musyrik menjadikannya hari raya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menyelisihi mereka dengan berpuasa. Sama dengan kaum Muslimin Indonesia. Karena orang Hindu mengisi hari-hari yang Anda sebutkan dengan kesyirikan dan kemaksiatan, yang merupakan penghinaan kepada si mati, maka kaum Muslimin mengisinya dengan dzikir Tahlilan, sebagai penghormatan kepada si mati.
WAHABI: “Owh, iya ya.”
SUNNI: “Saya ingin tanya, Anda tahu dari mana bahwa hari-hari tersebut, asalnya dari Hindu?”
WAHABI: “Ya, baca Kitab Weda, kitab sucinya Hindu.”
SUNNI: “Alhamdulillah, kami kaum Sunni tidak pernah baca kitab Weda.”
WAHABI: “Awal mulanya sih, ada muallaf asal Hindu, yang menjelaskan masalah di atas, sering kami undang ceramah pengajian kami. Akhirnya kami lihat Weda.”
SUNNI: “Itu kesalahan Anda, orang Wahabi, yang lebih senang belajar agama kepada muallaf, dan gengsi belajar agama kepada para Kiai Pesantren yang berilmu. Jelas, ini termasuk bid’ah tercela.”
WAHABI: “Terima kasih ilmunya.”
SUNNI: “Anda dan golongan Anda tidak melakukan Tahlilan, silahkan. Bagi kami tidak ada persoalan. Tapi jangan coba-coba menyalahkan kami yang mengadakan dzikir Tahlilan.”