Ustadz
Firanda Andirja seringkali menulis artikel di webnya, dengan mengutip
pernyataan ulama Syafi’iyah, lalu disimpulkan sesuai dengan pemahamannya
sendiri, bukan pemahaman ulama Syafi’iyah. Misalnya ia menulis artikel
berjudul “Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah”, maksudnya mengingkari
bid’ah hasanah seperti yang diikuti oleh para ulama Syafi’iyah. Menurut
Firanda, maksud bid’ah hasanah yang dikemukakan oleh Syafi’iyah, pada
dasarnya bukan bid’ah hasanah yang dipahami oleh pengikutnya sekarang
ini, akan tetapi Mashlalah Mursalah. Seakan-akan Firanda mau menggurui
para ulama dan ustadz yang bermadzhab Syafi’i dalam memahami kitab-kitab
Syafi’iyah. Anehnya, dalam memberikan kesimpulan, Firanda tidak pernah
merujuk kepada ulama Syafi’iyah dan tidak pernah jujur dalam mengutip
pernyataan para ulama. Berikut format dialognya.
WAHABI (FIRANDA): “Sebagian ulama Syafi'iyah yang memandang adanya bid'ah hasanah, ternyata dikenal membantah bid'ah-bid'ah yang dianggap hasanah. Yang hal ini semakin menunjukan bahwa yang dimaksud oleh mereka dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah (silahkan baca kembali artikel Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid'ah Hasanah).”
SUNNI: “Hemat kami, tulisan Anda adakalanya karena Anda tidak menguasai kitab-kitab Syafi’iyah, dan adakalanya Anda berbohong dalam kesimpulan tersebut. Kalau Anda mau jujur, sebenarnya Anda merujuk kepada al-Syathibi yang bermadzhab Maliki dalam kitab al-I’tisham. Al-Syathibi sangat menolak keras yang namanya bid’ah hasanah. Sayang sekali, al-Syathibi menamakan hal-hal yang dianggap bid’ah hasanah dalam madzhab Maliki dengan nama Mashlalah Mursalah. Sementara dalam madzhab Syafi’i, jelas berbeda dengan Madzhab Maliki dalam mengadopsi Mashlalah Mursalah.
Kalau memang benar, kesimpulan Anda, bahwa bid’ah hasanah dalam madzhab Syafi’i adalah Mashlahah Mursalah, silahkan Anda sampaikan, siapa ulama Syafi’iyah yang menyatakan begitu???? Anda tidak akan menemukan. Sedangkan alasan Anda, bahwa para ulama Syafi’iyah yang mengakui bid’ah hasanah, ternyata mengingkari sebagian bid’ah, sebagai bukti bahwa bid’ah hasanah menurut mereka adalah mashlahah mursalah, ini membuktikan kekurangan Anda dalam memahami kitab-kitab Syafi’iyah. Anda harus tahu, bahwa sebagian bid’ah yang diingkari oleh ulama Syafi’iyah, memang bid’ah sayyi’ah menurut ijtihad mereka. Bukan bid’ah hasanah. Di sisi lain, Anda kadang tidak memahami maksud bid’ah yang mereka ingkari, sebagaimana akan dipaparkan dalam tulisan berikut ini.”
WAHABI: “Semakin memperkuat bahwa yang dimaksud oleh para ulama syafi'iyah dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah, ternyata kita mendapati mereka keras mengingkari perkara-perkara yang dianggap oleh masyarakat sebagai bid'ah hasanah.”
SUNNI: “Pernyataan Anda membuktikan bahwa pernyataan Anda di atas adalah murni kesimpulan dan penafsiran Anda, bukan pernyataan ulama Syafi’iyah. Setiap madzhab itu memiliki konsep masing-masing, dan berbeda dengan madzhab lain.”
WAHABI: “Pengingkaran Al-Izz bin Abdis Salam terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah. Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah bid'ah-bid'ah yang disebut-sebut sebagai bid'ah hasanah. Diantara perkara-perkara yang diingkari tersebut adalah bersalam-salaman setelah sholat, sholat roghoib, sholat nishfu sya'ban, mengusap wajah selesai doa, mengirim pahala bacaan qur'an bagi mayat, dan mentalqin mayat setelah dikubur.”
SUNNI: “Bid’ah hasanah dalam madzhab Syafi’i merupakan suatu konsep yang bersifat general (kulli) dalam ilmu fiqih. Sedangkan beberapa hal yang dilarang oleh al-‘Izz bin Abdissalam di atas adalah fatwa yang bersifat kasuistik dan particular (juz’iy). Antara keduanya seharusnya Anda bedakan, kalau Anda memahami ilmu fiqih. Sayang sekali pengetahuan Anda dangkal dalam masalah ini. Terkait dengan bid’ah hasanah, al-‘Izz bin Abdissalam telah berkata dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam (Anda pasti tahu terhadap pernyataan tersebut, cuma Anda tidak memahaminya dengan baik) sebagai berikut:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ صلى الله عليه وسلم وَذَلِكَ وَاجِبٌ ِلأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: منها المصافحة عقيب الصبح والعصر. ومِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ.هـ (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، 2/133).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah, jembatan-jembatan dan setiap kebaikan yang belum pernah dikenal pada generasi pertama di antaranya adalah shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al-Qur’an.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya berjabatan tangan setelah shalat shubuh dan ashar. Di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133)
Harusnya pernyataan di atas itu yang Anda kutip, berupa konsep al-Izz bin Abdissalam tentang bid’ah hasanah. Dalam pernyataan di atas, al-Izz tidak menyatakan bahwa bid’ah hasanah beliau adalah Mashlalah Mursalah. Karena beliau tidak mengakui Mashlalah Mursalah. Mashalah Mursalah, adalah sumber pengambilan hukum yang diikuti oleh Madzhab Maliki dan Hanbali. Sementara Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak mengakui. Jadi Anda tidak perlu mencampur aduk antara satu madzhab dengan madzhab lain.”
WAHABI: “Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-'Iz bin Abdissalam),
"Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)”
SUNNI: “Kutipan Anda di atas semakin menguatkan bahwa yang dimaksud bid’ah hasanah dalam madzhab Syafi’i bukan Mashlahah Mursalah. Mengapa demikian? Selain karena alasan di atas, juga al-Izz bin Abdissalam melarang beberapa kasus di atas, itu bukan karena hal tersebut dianggap bid’ah hasanah oleh Syafi’iyah. Akan tetapi karena menurut hemat beliau, karena hal di atas tidak memiliki dalil syar’iy yang otoritatif (mu’tabar). Terbukti, shalat raghaib dan nishfu Sya’ban masih diperdebatkan di kalangan Syafi’iyah, seperti al-Hafizh Ibnus-Shalah al-Syafi’i, yang semasa dengan al-‘Izz, justru mendukung shalat tersebut. Silahkan Anda baca, Musajalah ‘Ilmiyyah, kitab polemik antara al-‘Izz dengan Ibnus-Shalah yang dittahqiq oleh al-Albani (panutan Anda), terbitan Zuhair Syawisy, di Maktab Islami (Wahabi) Damaskus.”
WAHABI: “Beliau (Al-Izz) berpendapat dalam fatwanya :
1) Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.
2) Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling setelah salam.
3) Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
4) Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil.
5) Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut,
(Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-'Izz bin Abdis Salaam hal 46-47,.”
SUNNI: “Pernyataan di atas adalah fatwa dalam hukum-hukum yang bersifat partikular (juz’iy), tetapi Anda naikkan menjadi konsep kaedah tentang anti bid’ah hasanah yang bersifat general (kulliy). Bukankah ini suatu kebodohan??? Sekarang kami akan membahas fatwa al-Izz di atas satu persatu:
1) Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.
TANGGAPAN: Pertanyaannya di sini adalah, berjabat tangan setelah shalat di atas, termasuk bid’ah yang mana? Apakah bid’ah dholalah yang finnar seperti pendapat Firanda? Ternyata al-‘Izz sudah menegaskan dalam kitabnya yang lain, yaitu Qawa’id al-Ahkam:
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: منها المصافحة عقيب الصبح والعصر. (العز بن عبد السلام، قواعد الأحكام 2/134).
“Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya berjabatan tangan setelah shalat shubuh dan ashar.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133)
Jadi ternyata berjabat tangan seusai shalat masih sebatas bid’ah yang mubah (boleh dilakukan) menurut al-Izz. Kalau Firanda kan mengartikan itu haram dan dholalah. Beda kan? Karena sebatas mubah, ya tidak perlu Anda perangi. Seperti halnya ada orang suka makan bakso, ya tidak perlu diperangi.
2) Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling (pergi) setelah salam.
TANGGAPAN: Anda tidak menjelaskan maksud perkataan al-Imam al-Syafi’i, tentang pergi setelah salam bagi imam. Apakah kalau ia masih duduk-duduk wiridan, dihukumi bid’ah dholalah? Atau kalau ia masih berdzikir dengan keras, dihukumi bid’ah dholalah? Anda tidak menjelaskan hal ini. Al-Imam al-Syafi’i menjelaskan dalam al-Umm sebagai berikut:
باب كلام الامام وجلوسه بعد السلام قال الشافعي قال عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضى تسليمه ومكث النبي صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا لكى ينفذ النساء قبل أن يدركهن من انصرف من القوم قال الشافعي عن ابن عباس قال كنت: أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير قال الشافعي عن عبد الله بن الزبير يقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الاعلى " لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شئ قدير ولا حول ولا قوة إلا بالله ولا نعبد إلا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون " (قال الشافعي) وهذا من المباح للامام وغير المأموم قال وأى إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر (قال الشافعي) وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك واستحب أن يذكر الامام الله شيئا في مجلسه قدر ما يتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطول من ذلك فلا شئ عليه وللمأموم أن ينصرف إذا قضى الامام السلام قبل قيام الامام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصراف الامام أو معه أحب إلى له وأستحب للمصلى منفردا وللمأموم أن يطيل الذكر بعد الصلاة ويكثر الدعاء رجاء الاجابة بعد المكتوبة. (الأم للإمام الشافعي, 1/150 – 151 ، بتصرف).
“Bab ucapan imam dan duduknya setelah salam (dalam shalat berjamaah).
1) Al-Syafi’i berkata, dari Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengucapkan salam dari shalatnya, maka kaum wanita pergi ketika beliau selesai salam. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih diam di tempatnya sebentar, agar kaum wanita selesai, sebelum disusul oleh kaum yang pergi (beranjak dari shalat).
2) Al-Syafi’i berkata, dari Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan suara takbir.”
3) Al-Syafi’i berkata, dari Abdullah bin Zubair, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila salam dari shalatnya, maka berkata dengan suaranya yang keras, laa ilaaha ilallallaah wahdahu laa syariika lah lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syay’in qadiir walaa haula wala quwwata illa billaah wala a’budu illa iyyaah lahun ni’matu walahul fahdlu walahu al-tsana’ul hasan laa ilaaha illallaah mukhlishiin lahuddiin walau karihal kaafiruun.” Al-Syafi’i berkata: “Mengeraskan bacaan ini termasuk mubah/boleh bagi imam, selain makmum.”
4) Al-Syafi’i berkata, imam siapapun yang berdzikir kepada Allah dengan apa yang aku terangkan, denga suara keras atau pelan, adalah bagus.
5) Aku memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah setelah berpaling dari shalat, dan menyamarkan dzikir. Kecuali apabila ia seorang imam yang ingin dipelajari dzikirnya, maka ia mengeraskan sampai melihat bahwa orang telah benar-benar belajar darinya, kemudian memelankan.
6) Al-Syafi’i berkata: “Aku mengira, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengeraskan suaranya sedikit, agar orang-orang belajar darinya hal itu.”
7) Aku menganjurkan agar imam berdzikir kepada Allah di majlisnya sekedarnya, kira-kira orang-orang perempuan yang pergi dapat maju sedikit sebagaimana dikatakan oleh Ummu Salamah, kemudian imam berdiri (pergi). Dan apabila ia pergi sebelum itu, atau duduk lebih lama lagi, maka tidak ada apa-apa baginya.
Makmum boleh pergi apabila imam selesai shalat, sebelum berdirinya imam. Dan ia mengakhirkan hal itu sehingga ia pergi setelah perginya imam, atau bersamanya, lebih aku sukai.
9) Aku menganjurkan bagi orang yang shalat sendirian, dan bagi makmum agar berlama-lama dzikir setelah shalat dan banyak berdoa, karena mengharap terkabulnya doa setelah shalat maktubah (fardhu). (Al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, al-Umm, 1/150-151, dengan disederhanakan).
Perhatikan, dalam pernyataan Imam al-Syafiii di atas, tidak ada vonis bid’ah dholalah bagi imam atau makmum yang berdzikir lama setelah shalat. Bahkan beliau memberikan kebebasan.
3) Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
TANGGAPAN: “Mengangkat tangan dalam doa qunut, dalam madzhab Syafi’i hukumnya diperselisihkan. Imam al-‘Izz memilih pendapat yang membid’ahkan. Tetapi masih bid’ah mubahah, bukan makruhah apalagi madzmumah. Dalam hal ini, Imam an-Nawawi berkata:
حكم رفع اليدين في دعاء القنوت
اختلف أصحابنا في رفع اليدين في دعاء القنوت ومسح الوجه بهما على ثلاثة أوجه: أصحّها أنه يستحبّ رفعهما ولا يمسح الوجه. والثاني: يرفع ويمسحه. والثالث: لا يمسحُ ولا يرفع. واتفقوا على أنه لا يمسح غير الوجه من الصدر ونحوه، بل قالوا: ذلك مكروه.
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa qunut.
Pengikut Syafi’iyah telah berselisih tentang mengangkat kedua tangan dalam doa qunut dan mengusap wajah dengannya, atas 3 pendapat. Pendapat yang paling shahih adalah, disunnahkan mengangkat kedua tangan dan tidak mengusap wajah. Pendapat kedua, mengangkat dan mengusap. Pendapat kitga, tidak mengusap dan tidak mengangkat. Mereka bersepakat, bahwa tidak mengusap selain wajah, seperti dada dan sesamanya. Bahkan mereka berkata, hal demikian adalah makruh.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Adzkar, hal. 127).
4) Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil.
TANGGAPAN: Mengusap wajah setelah doa, diperselisihkan di kalangan ulama, antara yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Tetapi pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i adlah sunnah. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ sebagai berikut:
"ومن آداب الدعاء كونه في الأوقات والأماكن والأحوال الشريفة واستقبال القبلة ورفع يديه ومسح وجهه بعد فراغه وخفض الصوت بين الجهر والمخافتة" ([7])).
“Di antara etika/adab doa adalah, berdoa dalam waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap qiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah sesudahnya, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (Al-Majmu’, 4/487).
Imam al-Nawawi memastikan dalam kitab al-Tahqiq bahwa mengusap wajah adalah disunnahkan, sebagaimana dikutip oleh Syaikhul Islam Zakariya dan al-Khathib al-Syirbini. (Lihat, Asnal Mathalib 1/160 dan Mughnil Muhtaj 1/370). Bahkan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali, ulama madzhab Hanbali yang diikuti oleh Wahabi berkata:
"(ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ هُنَا) أي: عقب القنوت (وَخَارَجَ الصَّلَاةِ) إِذَا دَعَا"
“Kemudian mengusp wajahnya di sini, (sesudah qunut) dan di luar shalat apabila berdoa”. (Lihat, al-Buhuti, Syarh Muntaha al-Iradat 1/241, al-Mirdawi, al-Inshaf 2/173 dan al-Buhuti, Kasysyaf al-Qina’, 1/420).
Sedangkan dalil mengusap wajah setelah doa adalah hadits-hadits berikut:
فعن عمر رضي الله تعالى عنه قال: {كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ} أخرجه الترمذي في كتاب «الدعوات» باب «رفع الأيدي في الدعاء» حديث (3386)، وأخرجه الحاكم في مستدركه (1/719) في كتاب «الدعاء» حديث (1967).
“Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengangkat kedua tangannya dalam doa, tidak mengembalikannya sehingga mengusap wajahnya dengan kedua tangan tersebut.” (HR al-Tirmidzi [3386], al-Hakim [1/719 no 1967]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh al-Maram, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, dan memiliki banyak penguat (syawahid) antara lain hadits Ibnu Abbas oleh Abu Dawud dan lainnya. Komposisi semuanya memutuskan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan.”
5) Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut,
TANGGAPAN: Membaca sholawat di dalam qunut juga diperselisihkan di kalangan ulama. Ibnul Qayyim berkata: “Tempat ketiga, di antara tempat-tempat bersolawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah di akhir qunut, disunnahkan oleh Imam al-Syafi’i dan yang sependapat dengan beliau. Beliau berhujjah dengan hadits al-Hasn bin Ali (akhir qunut nya ada sholawatnya). Hadits ini memang tentang qunut witir, kemudian dipindah ke qunut sholat shubuh berdasarkan qiyas. Kemudian Ibnul Qayyim juga menyebutkan sholawat dalam qunut sholat witir pada masa Khalifah Umar.
Pembacaa sholawat dalam qunut juga diriwayatkan dari shahabat Abu Halimah Mu’adz bin al-Harits, yang ditugasi Khalifah Umar menjadi Imam Taraweh ketika Ubay bin Ka’ab berhalangan. Riwayat ini mauquf yang shahih. Juga ada riwayat dari al-Zuhri dan Ayyub yang shahih tentang sholawat dalam qunut dari kalangan shahabat.
Dengan demikian, membaca sholawat dalam qunut memiliki dasar yang kuat. Silahkan And abaca, Jala-ul Afham karya Ibnu Qayyimil Jauziyah (hal. 204), dan al-Qaul al-Badi’ (hal. 261-263) karya al-Hafizh al-Sakhawi tentang dasar tersebut.
Bahkan al-Albani juga menganjurkan membaca sholawat dalam qunut, sebagaimana ia jelaskan dalam Talkhish Shifat Sholat-nya. Wallahu a’lam.
WAHABI: “Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid'ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)”
SUNNI: “Talqin ini juga diperselisihkan di kalangan fuqaha, antara yang menganjurkan dan yang tidak menganjurkan.
Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa Talqin itu hukumnya boleh, dan sebagian menganjutkannya. (Al-Binayah ‘ala al-Hidayah 3/208-209, Raddul Muhtar 1/571, dan I’la-us Sunan 8/210-211).
Madzhab Maliki juga membolehkan, berdasarkan hadits riwayat al-Thabarani dari Abu Umamah. Lihat al-Mi’yar 1/412.
Madzhab Syafi’i menganjurkan talqin sebagaimana ditegaskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 5/273-274.
Madzhab Hanbali juga menganjurkan menurut pendapat mu’tamad mereka, seperti ditegaskan oleh Ibn Muflih (al-Furu’ 2/2755), al-Buhuti (Kasysyaf al-Qina’ 2/135). Dengan demikian, masalah Talqin termasuk masalah khilafiyah, tetapi dibolehkan dan dianjurkan oleh mayoritas ulama. Wallahu a’lam.
WAHABI: B. Pengingkaran Imam As-Syafi'i terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"
(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
SUNNI: Anda saja yang tidak paham dengan perkataan di atas. Itu maksudnya madzhab Syafi’i menolak konsep istihsan sebagai sumber pengambilan hukum syar’iy. Sementara madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali (yang diikuti oleh Wahabi), menganggap istihsan termasuk salah satu sumber hukum syar’iy. Tolong Anda fahami dengan benar masalah ini.
Imam al-Syafi’i memiliki konsep yang jelas dalam menerima bid’ah hasanah. Beliau berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Source : http://www.idrusramli.com/2013/meluruskan-dusta-firanda-wahabi-tentang-bidah-hasanah/
WAHABI (FIRANDA): “Sebagian ulama Syafi'iyah yang memandang adanya bid'ah hasanah, ternyata dikenal membantah bid'ah-bid'ah yang dianggap hasanah. Yang hal ini semakin menunjukan bahwa yang dimaksud oleh mereka dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah (silahkan baca kembali artikel Syubhat-Syubhat Para Pendukung Bid'ah Hasanah).”
SUNNI: “Hemat kami, tulisan Anda adakalanya karena Anda tidak menguasai kitab-kitab Syafi’iyah, dan adakalanya Anda berbohong dalam kesimpulan tersebut. Kalau Anda mau jujur, sebenarnya Anda merujuk kepada al-Syathibi yang bermadzhab Maliki dalam kitab al-I’tisham. Al-Syathibi sangat menolak keras yang namanya bid’ah hasanah. Sayang sekali, al-Syathibi menamakan hal-hal yang dianggap bid’ah hasanah dalam madzhab Maliki dengan nama Mashlalah Mursalah. Sementara dalam madzhab Syafi’i, jelas berbeda dengan Madzhab Maliki dalam mengadopsi Mashlalah Mursalah.
Kalau memang benar, kesimpulan Anda, bahwa bid’ah hasanah dalam madzhab Syafi’i adalah Mashlahah Mursalah, silahkan Anda sampaikan, siapa ulama Syafi’iyah yang menyatakan begitu???? Anda tidak akan menemukan. Sedangkan alasan Anda, bahwa para ulama Syafi’iyah yang mengakui bid’ah hasanah, ternyata mengingkari sebagian bid’ah, sebagai bukti bahwa bid’ah hasanah menurut mereka adalah mashlahah mursalah, ini membuktikan kekurangan Anda dalam memahami kitab-kitab Syafi’iyah. Anda harus tahu, bahwa sebagian bid’ah yang diingkari oleh ulama Syafi’iyah, memang bid’ah sayyi’ah menurut ijtihad mereka. Bukan bid’ah hasanah. Di sisi lain, Anda kadang tidak memahami maksud bid’ah yang mereka ingkari, sebagaimana akan dipaparkan dalam tulisan berikut ini.”
WAHABI: “Semakin memperkuat bahwa yang dimaksud oleh para ulama syafi'iyah dengan bid'ah hasanah adalah maslahah mursalah, ternyata kita mendapati mereka keras mengingkari perkara-perkara yang dianggap oleh masyarakat sebagai bid'ah hasanah.”
SUNNI: “Pernyataan Anda membuktikan bahwa pernyataan Anda di atas adalah murni kesimpulan dan penafsiran Anda, bukan pernyataan ulama Syafi’iyah. Setiap madzhab itu memiliki konsep masing-masing, dan berbeda dengan madzhab lain.”
WAHABI: “Pengingkaran Al-Izz bin Abdis Salam terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah. Beliau dikenal dengan orang yang keras membantah bid'ah-bid'ah yang disebut-sebut sebagai bid'ah hasanah. Diantara perkara-perkara yang diingkari tersebut adalah bersalam-salaman setelah sholat, sholat roghoib, sholat nishfu sya'ban, mengusap wajah selesai doa, mengirim pahala bacaan qur'an bagi mayat, dan mentalqin mayat setelah dikubur.”
SUNNI: “Bid’ah hasanah dalam madzhab Syafi’i merupakan suatu konsep yang bersifat general (kulli) dalam ilmu fiqih. Sedangkan beberapa hal yang dilarang oleh al-‘Izz bin Abdissalam di atas adalah fatwa yang bersifat kasuistik dan particular (juz’iy). Antara keduanya seharusnya Anda bedakan, kalau Anda memahami ilmu fiqih. Sayang sekali pengetahuan Anda dangkal dalam masalah ini. Terkait dengan bid’ah hasanah, al-‘Izz bin Abdissalam telah berkata dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam (Anda pasti tahu terhadap pernyataan tersebut, cuma Anda tidak memahaminya dengan baik) sebagai berikut:
اْلبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوْبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوْهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيْقُ فِيْ مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ اْلإِيْجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ التَّحْرِيْمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاعِدِ الْمَنْدُوْبِ فَهِيَ مَنْدُوْبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِيْ قَوَاِعِد الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ. وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ:
أَحَدُهَا: اْلاِشْتِغَالُ بِعِلْمِ النَّحْوِ الَّذِيْ يُفْهَمُ بِهِ كَلاَمُ اللهِ وَكَلاَمُ رَسُوْلِهِ صلى الله عليه وسلم وَذَلِكَ وَاجِبٌ ِلأَنَّ حِفْظَ الشَّرِيْعَةِ وَاجِبٌ وَلاَ يَتَأَتَّى حِفْظُهَا إِلاَّ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ، وَمَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
الْمِثالُ الثاَّنِيْ: الْكَلاَمُ فِيْ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيْل لِتَمْيِيْزِ الصَّحِيْحِ مِنَ السَّقِيْمِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُحَرَّمَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا مَذْهَبُ الْقَدَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْجَبَرِيَّةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُرْجِئَةِ، وَمِنْهَا مَذْهَبُ الْمُجَسِّمَةِ. وَالرَّدُّ عَلَى هَؤُلاَءِ مِنْ البِدَعِ الوَاجِبَةِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَنْدُوْبَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا: إِحْدَاثُ الْمَدَارِسِ وَبِنَاءُ الْقَنَاطِرِ، وَمِنْهَا كُلُّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ اْلأَوَّلِ، وَمِنْهَا صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ أَمْثِلَةٌ: مِنْهَا زَخْرَفَةُ الْمَسَاجِدِ، وَمِنْهَا تَزْوِيْقُ الْمَصَاحِفِ.
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: منها المصافحة عقيب الصبح والعصر. ومِنْهَا التَّوَسُّعُ فِي اللَّذِيْذِ مِنَ الْمَآكِلِ وَالْمَشَارِبِ وَالْمَلاَبِسِ وَالْمَسَاكِنِ، وَلُبْسِ الطَّيَالِسَةِ، وَتَوْسِيْعِ اْلأَكْمَامَ.."أ.هـ (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، 2/133).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.
Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk bid’ah yang wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah, jembatan-jembatan dan setiap kebaikan yang belum pernah dikenal pada generasi pertama di antaranya adalah shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf al-Qur’an.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya berjabatan tangan setelah shalat shubuh dan ashar. Di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133)
Harusnya pernyataan di atas itu yang Anda kutip, berupa konsep al-Izz bin Abdissalam tentang bid’ah hasanah. Dalam pernyataan di atas, al-Izz tidak menyatakan bahwa bid’ah hasanah beliau adalah Mashlalah Mursalah. Karena beliau tidak mengakui Mashlalah Mursalah. Mashalah Mursalah, adalah sumber pengambilan hukum yang diikuti oleh Madzhab Maliki dan Hanbali. Sementara Madzhab Syafi’i dan Hanafi tidak mengakui. Jadi Anda tidak perlu mencampur aduk antara satu madzhab dengan madzhab lain.”
WAHABI: “Berkata Abu Syamah (salah seorang murid Al-'Iz bin Abdissalam),
"Beliau (Al-'Iz bin Abdissalam) adalah orang yang paling berhak untuk berkhutbah dan menjadi imam, beliau menghilangkan banyak bid'ah yang dilakukan oleh para khatib seperti menancapkan pedang di atas mimbar dan yang lainnya. Beliau juga membantah sholat rogoib dan sholat nishfu sya'ban dan melarang kedua sholat tersebut" (Tobaqoot Asy-Syafi'iah al-Kubro karya As-Subki 8/210, pada biografi Al-'Iz bin Abdissalam)”
SUNNI: “Kutipan Anda di atas semakin menguatkan bahwa yang dimaksud bid’ah hasanah dalam madzhab Syafi’i bukan Mashlahah Mursalah. Mengapa demikian? Selain karena alasan di atas, juga al-Izz bin Abdissalam melarang beberapa kasus di atas, itu bukan karena hal tersebut dianggap bid’ah hasanah oleh Syafi’iyah. Akan tetapi karena menurut hemat beliau, karena hal di atas tidak memiliki dalil syar’iy yang otoritatif (mu’tabar). Terbukti, shalat raghaib dan nishfu Sya’ban masih diperdebatkan di kalangan Syafi’iyah, seperti al-Hafizh Ibnus-Shalah al-Syafi’i, yang semasa dengan al-‘Izz, justru mendukung shalat tersebut. Silahkan Anda baca, Musajalah ‘Ilmiyyah, kitab polemik antara al-‘Izz dengan Ibnus-Shalah yang dittahqiq oleh al-Albani (panutan Anda), terbitan Zuhair Syawisy, di Maktab Islami (Wahabi) Damaskus.”
WAHABI: “Beliau (Al-Izz) berpendapat dalam fatwanya :
1) Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.
2) Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling setelah salam.
3) Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
4) Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil.
5) Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut,
(Kittab Al-Fataawaa karya Imam Al-'Izz bin Abdis Salaam hal 46-47,.”
SUNNI: “Pernyataan di atas adalah fatwa dalam hukum-hukum yang bersifat partikular (juz’iy), tetapi Anda naikkan menjadi konsep kaedah tentang anti bid’ah hasanah yang bersifat general (kulliy). Bukankah ini suatu kebodohan??? Sekarang kami akan membahas fatwa al-Izz di atas satu persatu:
1) Berjabat tangan setelah sholat subuh dan ashar termasuk bid'ah kecuali bagi orang yang baru datang dan bertemu dengan orang yang dia berjabat tangan dengannya sebelum sholat, karena berjabat tangan disyari'atkan tatkala datang.
TANGGAPAN: Pertanyaannya di sini adalah, berjabat tangan setelah shalat di atas, termasuk bid’ah yang mana? Apakah bid’ah dholalah yang finnar seperti pendapat Firanda? Ternyata al-‘Izz sudah menegaskan dalam kitabnya yang lain, yaitu Qawa’id al-Ahkam:
وَلِلْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ أَمْثِلَةٌ: منها المصافحة عقيب الصبح والعصر. (العز بن عبد السلام، قواعد الأحكام 2/134).
“Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya berjabatan tangan setelah shalat shubuh dan ashar.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/133)
Jadi ternyata berjabat tangan seusai shalat masih sebatas bid’ah yang mubah (boleh dilakukan) menurut al-Izz. Kalau Firanda kan mengartikan itu haram dan dholalah. Beda kan? Karena sebatas mubah, ya tidak perlu Anda perangi. Seperti halnya ada orang suka makan bakso, ya tidak perlu diperangi.
2) Imam As-Syafi'i suka agar imam berpaling (pergi) setelah salam.
TANGGAPAN: Anda tidak menjelaskan maksud perkataan al-Imam al-Syafi’i, tentang pergi setelah salam bagi imam. Apakah kalau ia masih duduk-duduk wiridan, dihukumi bid’ah dholalah? Atau kalau ia masih berdzikir dengan keras, dihukumi bid’ah dholalah? Anda tidak menjelaskan hal ini. Al-Imam al-Syafi’i menjelaskan dalam al-Umm sebagai berikut:
باب كلام الامام وجلوسه بعد السلام قال الشافعي قال عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته قام النساء حين يقضى تسليمه ومكث النبي صلى الله عليه وسلم في مكانه يسيرا لكى ينفذ النساء قبل أن يدركهن من انصرف من القوم قال الشافعي عن ابن عباس قال كنت: أعرف انقضاء صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم بالتكبير قال الشافعي عن عبد الله بن الزبير يقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سلم من صلاته يقول بصوته الاعلى " لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شئ قدير ولا حول ولا قوة إلا بالله ولا نعبد إلا إياه له النعمة وله الفضل وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون " (قال الشافعي) وهذا من المباح للامام وغير المأموم قال وأى إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر (قال الشافعي) وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك واستحب أن يذكر الامام الله شيئا في مجلسه قدر ما يتقدم من انصرف من النساء قليلا كما قالت أم سلمة ثم يقوم وإن قام قبل ذلك أو جلس أطول من ذلك فلا شئ عليه وللمأموم أن ينصرف إذا قضى الامام السلام قبل قيام الامام وأن يؤخر ذلك حتى ينصرف بعد انصراف الامام أو معه أحب إلى له وأستحب للمصلى منفردا وللمأموم أن يطيل الذكر بعد الصلاة ويكثر الدعاء رجاء الاجابة بعد المكتوبة. (الأم للإمام الشافعي, 1/150 – 151 ، بتصرف).
“Bab ucapan imam dan duduknya setelah salam (dalam shalat berjamaah).
1) Al-Syafi’i berkata, dari Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengucapkan salam dari shalatnya, maka kaum wanita pergi ketika beliau selesai salam. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih diam di tempatnya sebentar, agar kaum wanita selesai, sebelum disusul oleh kaum yang pergi (beranjak dari shalat).
2) Al-Syafi’i berkata, dari Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan suara takbir.”
3) Al-Syafi’i berkata, dari Abdullah bin Zubair, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila salam dari shalatnya, maka berkata dengan suaranya yang keras, laa ilaaha ilallallaah wahdahu laa syariika lah lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syay’in qadiir walaa haula wala quwwata illa billaah wala a’budu illa iyyaah lahun ni’matu walahul fahdlu walahu al-tsana’ul hasan laa ilaaha illallaah mukhlishiin lahuddiin walau karihal kaafiruun.” Al-Syafi’i berkata: “Mengeraskan bacaan ini termasuk mubah/boleh bagi imam, selain makmum.”
4) Al-Syafi’i berkata, imam siapapun yang berdzikir kepada Allah dengan apa yang aku terangkan, denga suara keras atau pelan, adalah bagus.
5) Aku memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir kepada Allah setelah berpaling dari shalat, dan menyamarkan dzikir. Kecuali apabila ia seorang imam yang ingin dipelajari dzikirnya, maka ia mengeraskan sampai melihat bahwa orang telah benar-benar belajar darinya, kemudian memelankan.
6) Al-Syafi’i berkata: “Aku mengira, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengeraskan suaranya sedikit, agar orang-orang belajar darinya hal itu.”
7) Aku menganjurkan agar imam berdzikir kepada Allah di majlisnya sekedarnya, kira-kira orang-orang perempuan yang pergi dapat maju sedikit sebagaimana dikatakan oleh Ummu Salamah, kemudian imam berdiri (pergi). Dan apabila ia pergi sebelum itu, atau duduk lebih lama lagi, maka tidak ada apa-apa baginya.
Makmum boleh pergi apabila imam selesai shalat, sebelum berdirinya imam. Dan ia mengakhirkan hal itu sehingga ia pergi setelah perginya imam, atau bersamanya, lebih aku sukai.
9) Aku menganjurkan bagi orang yang shalat sendirian, dan bagi makmum agar berlama-lama dzikir setelah shalat dan banyak berdoa, karena mengharap terkabulnya doa setelah shalat maktubah (fardhu). (Al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, al-Umm, 1/150-151, dengan disederhanakan).
Perhatikan, dalam pernyataan Imam al-Syafiii di atas, tidak ada vonis bid’ah dholalah bagi imam atau makmum yang berdzikir lama setelah shalat. Bahkan beliau memberikan kebebasan.
3) Dan tidak disunnahkan mengangkat tangan tatkala qunut sebagaimana tidak disyari'atkan mengangkat tangan tatkala berdoa di saat membaca surat al-Fatihah dan juga tatkala doa diantara dua sujud…
TANGGAPAN: “Mengangkat tangan dalam doa qunut, dalam madzhab Syafi’i hukumnya diperselisihkan. Imam al-‘Izz memilih pendapat yang membid’ahkan. Tetapi masih bid’ah mubahah, bukan makruhah apalagi madzmumah. Dalam hal ini, Imam an-Nawawi berkata:
حكم رفع اليدين في دعاء القنوت
اختلف أصحابنا في رفع اليدين في دعاء القنوت ومسح الوجه بهما على ثلاثة أوجه: أصحّها أنه يستحبّ رفعهما ولا يمسح الوجه. والثاني: يرفع ويمسحه. والثالث: لا يمسحُ ولا يرفع. واتفقوا على أنه لا يمسح غير الوجه من الصدر ونحوه، بل قالوا: ذلك مكروه.
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa qunut.
Pengikut Syafi’iyah telah berselisih tentang mengangkat kedua tangan dalam doa qunut dan mengusap wajah dengannya, atas 3 pendapat. Pendapat yang paling shahih adalah, disunnahkan mengangkat kedua tangan dan tidak mengusap wajah. Pendapat kedua, mengangkat dan mengusap. Pendapat kitga, tidak mengusap dan tidak mengangkat. Mereka bersepakat, bahwa tidak mengusap selain wajah, seperti dada dan sesamanya. Bahkan mereka berkata, hal demikian adalah makruh.” (Al-Imam an-Nawawi, al-Adzkar, hal. 127).
4) Dan tidaklah mengusap wajah setelah doa kecuai orang jahil.
TANGGAPAN: Mengusap wajah setelah doa, diperselisihkan di kalangan ulama, antara yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Tetapi pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i adlah sunnah. Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ sebagai berikut:
"ومن آداب الدعاء كونه في الأوقات والأماكن والأحوال الشريفة واستقبال القبلة ورفع يديه ومسح وجهه بعد فراغه وخفض الصوت بين الجهر والمخافتة" ([7])).
“Di antara etika/adab doa adalah, berdoa dalam waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan yang mulia, menghadap qiblat, mengangkat kedua tangan, mengusap wajah sesudahnya, memelankan suara antara keras dan berbisik.” (Al-Majmu’, 4/487).
Imam al-Nawawi memastikan dalam kitab al-Tahqiq bahwa mengusap wajah adalah disunnahkan, sebagaimana dikutip oleh Syaikhul Islam Zakariya dan al-Khathib al-Syirbini. (Lihat, Asnal Mathalib 1/160 dan Mughnil Muhtaj 1/370). Bahkan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali, ulama madzhab Hanbali yang diikuti oleh Wahabi berkata:
"(ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيهِ هُنَا) أي: عقب القنوت (وَخَارَجَ الصَّلَاةِ) إِذَا دَعَا"
“Kemudian mengusp wajahnya di sini, (sesudah qunut) dan di luar shalat apabila berdoa”. (Lihat, al-Buhuti, Syarh Muntaha al-Iradat 1/241, al-Mirdawi, al-Inshaf 2/173 dan al-Buhuti, Kasysyaf al-Qina’, 1/420).
Sedangkan dalil mengusap wajah setelah doa adalah hadits-hadits berikut:
فعن عمر رضي الله تعالى عنه قال: {كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ} أخرجه الترمذي في كتاب «الدعوات» باب «رفع الأيدي في الدعاء» حديث (3386)، وأخرجه الحاكم في مستدركه (1/719) في كتاب «الدعاء» حديث (1967).
“Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengangkat kedua tangannya dalam doa, tidak mengembalikannya sehingga mengusap wajahnya dengan kedua tangan tersebut.” (HR al-Tirmidzi [3386], al-Hakim [1/719 no 1967]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh al-Maram, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, dan memiliki banyak penguat (syawahid) antara lain hadits Ibnu Abbas oleh Abu Dawud dan lainnya. Komposisi semuanya memutuskan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan.”
5) Dan tidaklah sah bersholawat kepada Nabi tatkala qunut,
TANGGAPAN: Membaca sholawat di dalam qunut juga diperselisihkan di kalangan ulama. Ibnul Qayyim berkata: “Tempat ketiga, di antara tempat-tempat bersolawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah di akhir qunut, disunnahkan oleh Imam al-Syafi’i dan yang sependapat dengan beliau. Beliau berhujjah dengan hadits al-Hasn bin Ali (akhir qunut nya ada sholawatnya). Hadits ini memang tentang qunut witir, kemudian dipindah ke qunut sholat shubuh berdasarkan qiyas. Kemudian Ibnul Qayyim juga menyebutkan sholawat dalam qunut sholat witir pada masa Khalifah Umar.
Pembacaa sholawat dalam qunut juga diriwayatkan dari shahabat Abu Halimah Mu’adz bin al-Harits, yang ditugasi Khalifah Umar menjadi Imam Taraweh ketika Ubay bin Ka’ab berhalangan. Riwayat ini mauquf yang shahih. Juga ada riwayat dari al-Zuhri dan Ayyub yang shahih tentang sholawat dalam qunut dari kalangan shahabat.
Dengan demikian, membaca sholawat dalam qunut memiliki dasar yang kuat. Silahkan And abaca, Jala-ul Afham karya Ibnu Qayyimil Jauziyah (hal. 204), dan al-Qaul al-Badi’ (hal. 261-263) karya al-Hafizh al-Sakhawi tentang dasar tersebut.
Bahkan al-Albani juga menganjurkan membaca sholawat dalam qunut, sebagaimana ia jelaskan dalam Talkhish Shifat Sholat-nya. Wallahu a’lam.
WAHABI: “Beliau juga menyatakan bahwasanya mentalqin mayat setelah dikubur merupakan bid'ah (lihat kitab fataawaa beliau hal 96)”
SUNNI: “Talqin ini juga diperselisihkan di kalangan fuqaha, antara yang menganjurkan dan yang tidak menganjurkan.
Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa Talqin itu hukumnya boleh, dan sebagian menganjutkannya. (Al-Binayah ‘ala al-Hidayah 3/208-209, Raddul Muhtar 1/571, dan I’la-us Sunan 8/210-211).
Madzhab Maliki juga membolehkan, berdasarkan hadits riwayat al-Thabarani dari Abu Umamah. Lihat al-Mi’yar 1/412.
Madzhab Syafi’i menganjurkan talqin sebagaimana ditegaskan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 5/273-274.
Madzhab Hanbali juga menganjurkan menurut pendapat mu’tamad mereka, seperti ditegaskan oleh Ibn Muflih (al-Furu’ 2/2755), al-Buhuti (Kasysyaf al-Qina’ 2/135). Dengan demikian, masalah Talqin termasuk masalah khilafiyah, tetapi dibolehkan dan dianjurkan oleh mayoritas ulama. Wallahu a’lam.
WAHABI: B. Pengingkaran Imam As-Syafi'i terhadap perkara-perkara yang dianggap bid'ah hasanah
Para imam madzhab syafiiyah telah menukil perkataan yang masyhuur dari Imam As-Syafii, yaitu perkataan beliau;
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
"Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka dia telah membuat syari'at"
(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya Al-Gozaali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir)
SUNNI: Anda saja yang tidak paham dengan perkataan di atas. Itu maksudnya madzhab Syafi’i menolak konsep istihsan sebagai sumber pengambilan hukum syar’iy. Sementara madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali (yang diikuti oleh Wahabi), menganggap istihsan termasuk salah satu sumber hukum syar’iy. Tolong Anda fahami dengan benar masalah ini.
Imam al-Syafi’i memiliki konsep yang jelas dalam menerima bid’ah hasanah. Beliau berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Source : http://www.idrusramli.com/2013/meluruskan-dusta-firanda-wahabi-tentang-bidah-hasanah/