DutaIslam.Com - Bacaan
manaqib sering disebut bid'ah dan khurafat oleh kelompok anti manaqib.
Mereka menyebut kalau manfaat manaqib dan bahkan tata cara manaqib tidak pernah diajarkan oleh nabi. Mereka ini tidak tahu pengertian manaqib, yang sebetulnya hanya mengisahkan (manaqib) para wali. Berikut ini adalah dialog antara KH Bisri Mustofa dan Laki-Laki Anti Manaqib.
Fulan Anti Manaqib: Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Mereka menyebut kalau manfaat manaqib dan bahkan tata cara manaqib tidak pernah diajarkan oleh nabi. Mereka ini tidak tahu pengertian manaqib, yang sebetulnya hanya mengisahkan (manaqib) para wali. Berikut ini adalah dialog antara KH Bisri Mustofa dan Laki-Laki Anti Manaqib.
Fulan Anti Manaqib: Bagaimana hukumnya baca manaqib?
KH Bisri Mustofa:
mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk
jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita
kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak
terpujinya seseorang. Oleh sebab itu, kata-kata manaqib hanya khusus bagi
orang-orang baik mulia: Manaqib Sayyidina Umar bin Khattab, manaqib Ali bin Abi
Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain
sebagainya.
Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal,
manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib,
apakah saudara masih tetap menanyakan hukum membaca manaqib?
Fulan Anti Manaqib: Betul,
tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu
berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan kantong berisi dinar
diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan,
diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
KH Bisri Mustofa: Kalau
saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya
berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi
teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khattab berkirim surat
kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khattab memberi komando dari Madinah kepada
prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah.
Cerita tentang Isra’ Mi’raj,
cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar
dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa
menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu
sama sekali tidak masuk akal.
Fulan Anti Manaqib: Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?
Fulan Anti Manaqib: Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?
KH Bisri
Mustofa: Baik Nabi
Allah ataupun Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau sahabat Umar bin Khattab,
semuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk
akal. Tetapi, kalau Allah Ta’ala membuatnya bisa, apakah saudara dapat
menghalanginya?”
Fulan Anti Manaqib: Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Fulan Anti Manaqib: Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
KH Bisri Mustofa: Hal-hal yang menyimpang atau keluar dari adat (kebiasaan) itu jikalau keluar dari Nabi Allah, maka disebut mukjizat, dan kalau keluar dari wali Allah disebut karomah.
Fulan Anti Manaqib: Apakah dalil yang menunjukkan bahwa selain Nabi Allah dapat membuatnya bisa (mampu) menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
KH Bisri
Mustofa: Silakan
saudara baca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang
dibuat menjadi bisa oleh Allah untuk memindahkan Arsy Balqis dalam QS An-Naml
[27]: 40:
قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا
آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ
مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَشْكُرُ
اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ
شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ
كَرِيْمٌ
Artinya: "Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab : ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencobaku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan Nikmat-Ku). Dan barangsiapa yang bersyukur,maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) diri sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia."
Fulan Anti Manaqib: Tetapi, di dalam Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ada juga kata-kata memanggil kepada ruh yang suci atau kepada wali-wali yang telah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tak menjadikan musyrik?
KH Bisri
Mustofa: Memanggil-manggil
untuk dimintai bantuan, baik kepada wali yang telah mati atau kepada bapak-ibu
Saudara yang masih hidup dengan penuh i'tikad bahwa pribadi wali atau pribadi
bapak-ibu Saudara itu memiliki kekuasaan untuk dapat memberi pertolongan yang
terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala, maka itu hukumnya syirik!
Namun, bila dengan i'tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi telah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghauts) kepada para wali itu maksudnya minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Namun, bila dengan i'tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi telah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghauts) kepada para wali itu maksudnya minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Fulan Anti
Manaqib: Manakah yang
lebih baik, berdoa kepada Allah secara langsung atau dengan perantara
(tawasul)?
KH Bisri
Mustofa: Langsung boleh,
dengan perantara pun boleh. Sebab, Allah Ta’ala Maha Mengetahui dan Maha
Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawasul kepada Allah melalui nabi-nabi,
wali-wali itu sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan
perantara kepala kantor atau atasan Anda.
Pengertian
tawasul yangg begitu itu tidak benar. Sebab itu berarti mengalihkan pandangan
terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara,
sehingga di samping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan,
saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawasul kepada Allah
tidak seperti itu!
Bila saudara
mau contoh tawasul kepada Allah Ta’ala melalui nabi-nabi dan wali-wali
itu, seperti orang sedang membaca Al-Qur’an dengan memakai kacamata. Orang
itu tetap memandang Al-Qur’an dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.”
Fulan Anti
Manaqib: Bukankah
Allah Ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Artinya: "Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu". (Al Mukmin: 60)
فَادْعُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Artinya: "Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama". (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Artinya: "Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain". (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat
serupa itu.
KH Bisri Mustofa: Betul.
Tetapi semuanya itu sama sekali tidak melarang kita bertawasul dengan
pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba perhatikan contoh
cerita berikut ini.
Saudara mempunyai seorang majikan yang kaya-raya, yang memiliki perusahaan besar. Saudara sudah sangat kenal baik dengan beliau, bahkan Anda termasuk pekerja yang paling dekat dengannya.
Lalu, saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, Anda (sebagai guru saya) saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata,
Saudara mempunyai seorang majikan yang kaya-raya, yang memiliki perusahaan besar. Saudara sudah sangat kenal baik dengan beliau, bahkan Anda termasuk pekerja yang paling dekat dengannya.
Lalu, saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, Anda (sebagai guru saya) saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata,
"Bapak pimpinan
perusahaan yang mulia, kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang
ingin saya sampaikan, yaitu mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan Bapak.
Saya ajak guru saya menghadap Bapak karena saya pandang guru saya ini adalah
orang baik hati dan
jujur, serta juga kenal baik dengan Bapak."
jujur, serta juga kenal baik dengan Bapak."
Coba perhatikan, kepada siapa
saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan
itu?
Misalnya, ada dua orang pengemis.
Pengemis pertama datang sendirian. Sedangkan pengemis kedua datang dengan
membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan
anak yang satunya lagi baru bisa berjalan.
Di antara kedua pengemis itu,
mana yang lebih mendapat perhatian Saudara? Saudara tentu akan menjawab,
pengemis kedua yang membawa anak-anak itu yang lebih diperhatikan bukan? Kalau
begitu, apakah ada gunanya pengemis itu membawa anak-anak yang masih kecil?
Kepada siapa pengemis itu meminta? Apa pengemis itu meminta kepada anak-anaknya
yang masih kecil dan menyusu ibunya itu? Tentu tidak bukan? [dutaislam.com/
ab]
Keterangan:
Dialog antara KH Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus) dengan laki-laki (Fulan) anti manaqib di atas dikutip dari Buku "Wirid-wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Rahasia Amalan- Amalan untuk Meraih Cinta Sejati," oleh Ust. M. Syukron Maksum.
Dialog antara KH Bisri Mustofa (ayahanda Gus Mus) dengan laki-laki (Fulan) anti manaqib di atas dikutip dari Buku "Wirid-wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Rahasia Amalan- Amalan untuk Meraih Cinta Sejati," oleh Ust. M. Syukron Maksum.
Source :http://www.dutaislam.com/2016/08/dialog-kh-bisri-mustofa-dengan-fulan-anti-manaqib-dan-tawassul.html