“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Ayat di atas sedang populer sekarang. Ayat itu selalu populer
menjelang pemilu. Dalam hal pilkada DKI yang salah satu calon kuatnya
adalah Nasrani, ayat ini menjadi semakin kuat bergema. Tapi apakah ayat
ini soal pemilu? Apakah ini ayat soal pemilihan gubernur? Menurut saya
bukan. Sejarah Islam tidak pernah mengenal adanya pemilihan umum. Juga
tak pernah ada pemilihan gubernur atau kepala daerah. Satu-satunya
pemilihan yang pernah terjadi adalah pemilihan khalifah. Itu pun hanya 5
kali, dan hanya melibatkan sekelompok orang yang tinggal di Madinah.
Gubernur khususnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh khalifah. Tidak
pernah dipilih.
Jadi ayat ini tentang apa? Wali atau awliya itu soal pemimpin wilayah
atau daerahkah? Bukan. Bagaimana mungkin ada ayat yang mengatur tentang
pemilihan pemimpin, padahal pemilihan itu tidak pernah terjadi?
Jadi, apa yang dimaksud? Apa makna wali atau awliya? Wali artinya
pelindung, atau sekutu. Ketika Nabi ditekan di Mekah, beliau menyuruh
kaum muslimin hijrah ke Habasyah (Ethopia). Rajanya seorang Nasrani,
menerima orang-orang yang hijrah itu, melindungi mereka dari kejaran
Quraisy Mekah. Inilah yang disebut wali, orang yang melindungi. Kejadian
ini direkam dalam surat Al-Maidah juga, ayat 81.
Adapun ayat 51 yang melarang orang menjadikan Yahudi dan Nasrani
sebagai pelindung itu adalah soal persekutuan dalam perang. Tidak ada
sama sekali kaitannya dengan pemilihan pemimpin. Ini sudah pernah saya
bahas, dan dibahas banyak orang.
Pagi ini, bangun tidur saya menyaksikan berita pilu. Orang-orang Arab
dari Syiria dan Irak masih terus mengungsi. Ke mana? Ke Eropa. Siapa
orang-orang Eropa itu? Muslimkah mereka? Sebagian besar tidak.
Kebanyakan dari mereka, orang-orang Eropa itu, adalah Nasrani, atau
ateis (musyrik). Tapi kini mereka menjadi pelindung bagi orang-orang
muslim, persis seperti ketika kaum muslim hijrah ke Habasyah. Jadi,
cobalah orang-orang yang rajin melafalkan ayat Al-Maidah 51 itu
berkhotbah kepada para pengungsi itu. Katakan kepada mereka bahwa
meminta perlindungan kepada Nasrani, menjadikan mereka wali atau awliya
itu haram hukumnya. Bisakah?
Ironisnya, dari siapa mereka lari? Dari kaum kafir? Bukan. Mereka
lari karena ditindas oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri, kaum muslim.
Kaum muslim yang berebut kekuasaan. Utamanya Sunni melawan Syiah.
Tahukah Anda bahwa bibit konflik Sunni-Syiah itu sudah terbentuk sejak
Rasul wafat? Ketika orang-orang mulai kasak kusuk untuk mencari siapa
yang akan jadi khalifah, padahal jenazah Rasul belum lagi diurus.
Permusuhan itu abadi, mengalirkan darah jutaan kaum muslimin sepanjang
sejarah ribuan tahun, kekal hingga kini.
Tidakkah kita sebagai kaum muslim malu ketika saudara-saudara kita
dizalimi oleh saudara kita yang lain, mereka meminta perlindungan kepada
kaum Nasrani dan kafir? Tapi pada saat yang sama mulut kita fasih
mengucap ayat-ayat yang memusuhi orang-orang Nasrani, memelihara
permusuhan kepada mereka.
Ingatlah, musuh abadi kita sebenarnya bukan Yahudi dan Nasrani,
melainkan rasa permusuhan itu sendiri. Rasa permusuhan itulah yang telah
mengalirkan banyak darah kaum muslimin, mengalir menjadi kubangan darah
sesama saudara. Sesama saudara pun bisa saling berbunuhan kalau ada
permusuhan di antara mereka. Kenapa mereka berbunuhan? Politik.
Perebutan kekuasaan.
Itulah yang sedang dilakukan banyak orang dengan Al-Maidah ayat 51.
Berebut kekuasaan politik dengan mengobarkan permusuhan. Mereka sedang
mengabadikan kebodohan yang sudah berlangsung 15 abad. Anda mau menjadi
bagian dari kebodohan itu? Saya tidak. Karena saya tidak mau menjadi
pengungsi seperti orang-orang Irak dan Syiria itu.
Source : http://abdurakhman.com/awliya-dan-ironi-kepemimpinan-islam/