Siapa Yang Lebih Berhak Menetapkan Awal Puasa dan Idul Fitri?

Sudah menjadi bahan diskusi umum, semenjak beberapa tahun belakangan ini bahwa di negeri kita sering tidak kompak dalam penetapan 1 Ramadhan. Masing-masing kelompok menganggap pendapatnya yang benar. Barangkali anda pernah berpolemik dengan tetangga atau bahkan keluarga sendiri terkait masalah awal ramadhan? Perbedaan itu memang sudah berlangsung cukup lama di Indonesia. Pada desa tertentu, dapat ditemukan shalat idul fitri dilaksanakan 2 hari.  Kenapa hal itu terjadi? Tulisan ini mencoba menjelaskan sebab perbedaan itu. Dan adakah pengaruhnya? Serta bagaimana seharusnya umat Islam bersikap?
Kewajiban puasa dilaksanakan ketika bulan ramadhan telah tiba. Cara mengetahui bulan baru melalui penetapan hilal. Sebagaimana sabda nabi Muhammad saw,

Apabila kalian melihat hilal maka shaumlah, dan jika kalian melihatnya (kembali) maka akhirilah shaum. Tetapi jika terhalang, shaumlah 30 hari (HR Muslim)”
Dalam kitab sahih fikih sunah jilid kedua yang ditulis oleh Abu Malik Kamal bin Asy-Sayyid Salim dijelaskan bahwa rukyat merupakan satu-satunya metode yang dibenarkan untuk megetahui posisi hilal. Dia secara tegas menolak penggunaan metode lain dalam memastikan hilal. Ia meyakini bahwa rukyat tidak dapat tergantikan oleh ilmu hisab. Menurutnya, menentukan awal ramadhan dengan hisab adalah tidak sah. Adapun hadits yang jadi pijakannya ialah sabda nabi Muhammad ,
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak pandai menulis dan menghitung, satu bulan adalah sekian, sekian … yakni terkadang 29 hari dan kadangkala 30 hari (HR Bukhari Muslim)”
Namun, penganut metode hisab berpandangan bahwa yang jadi persoalan adalah kapan tanggal 1 ramadhan itu? Bukan kewajiban melihat hilalnya? Perhitungan hisab dinilai terbukti secara empiris karena menggunakan rumus-rumus yang sudah dibakukan. Rumusan itu dijadikan acuan dalam menentukan awal bulan bahkan sampai 12 bulan.
Baik penganut rukyat maupun hisab, keduanya berpegang pada dalil yang sama. Hanya saja interpretasi atas hadits itu berbeda. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat golongan yang menggabungkan  rukyat dan hisab ketika akan menentukan awal ramadhan. Alasanya, rukyat dan hisab setara. Keduanya sama-sama sebagai alat untuk mengetahui kapan tanggal satu itu masuk. Rukyat bisa menguatkan hisab, begitu juga sebaliknya.
Namun, perbedaan penentuan awal bulan bukan lagi soal metode ‘rukyat versus hisab’. Sekarang bertambah, ada pertentangan antara ‘rukyat lokal’ vs ‘rukyat global’. Selain itu, perbedaan kriteria antara ‘hisab wujudul hilal’ dengan ‘hisab imkanur rukyat’ menambah daftar metode penentuan bulan baru.  Rukyat lokal adalah pengamatan hilal di satu wilayah. Kemudian hasilnya berlaku hanya di wilayah itu saja. Sedangkan rukyat global ialah pengamatan hilal pada suatu negara. Dan melalui jaringan komunikasi, keputusan itu diinformasikan ke seluruh dunia. Adapaun Hisab wujudul hilal berarti wujud bulan itu tetap ada meskipun tidak terlihat. Apabila hilal telah berada diatas ufuk saat magrib maka bulan baru telah tiba. Meskipun hilal berada pada posisi nol derajat. Sedangkan yang dimaksud hisab imkanur rukyat ialah bulan baru ditentukan oleh kemungkinan terlihat atau tidaknya hilal. Syarat hilal agar memungkinkan dirukyat adalah jika tinggi hilal minimal empat derajat.
Itulah diantara sejumlah metode penetuan awal bulan. Penggunaan metode dan kriteria hilal yang berbeda menghasilkan keragaman. Namun, apakah keragaman itu membawa maslahat atau madharat? Ketika ada perbedaan bulan baru, biasanya diikuti oleh akhir bulan yang berlainan. Resikonya terdapat hari raya dua kali dalam bulan syawal.
Diantara dampak pelaksanaan sholat idul fitri dua kali di Indonesia adalah: Pertama, saling menghakimi. Bagi orang yang shaumnya lebih dahulu, ia menggunakan dalil rukyat untuk menilai orang yang belum shaum. Mereka mengatakan bahwa puasa wajib dikerjakan bila hilal telah dirukyat. Mereka memakai dalil,

“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh (HR Bukhari)”
Sedangkan bagi yang mengikuti keputusan sidang itsbat, mereka menggunakan dalil larangan mendahului puasa kepada mereka yang sedang berpuasa. Mereka menyodorkan dalil,
Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali bagi seseorang yang sudah rutin berpuasa, hendaklah ia berpuasa pada hari itu (HR Bukhari Muslim )”
Begitu juga ketika lebaran berlangsung, orang yang sedang merayakan idul fitri, menilai orang yang masih berpuasa dengan dalil bahwa idul fitri itu harinya makan dan minum. Oleh karena itu, berpuasa pada hari fitri adalah haram. Mereka beralasan dengan dalil,
Umar bin Al-Khatthab r.a. berkata: “ Pada kedua hari ini, Nabi saw. telah melarang orang puasa, yaitu hari raya Idul Fitri sesudah Ramadhan dan hari raya Idul Adha sesudah wukuf di Arafah (HR Bukhari Muslim)”
Namun, bagi yang masih berpuasa, mereka berpegang pada dalil lain. Mereka berpandangan bahwa makan dan minum ketika hari masih berpuasa adalah haram. Mereka memberikan dalil kewajiban shaum,
Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dua tangaku,  membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu“. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (HR An-Nasa’i)”
Adapun dampak kedua ialah bid’ah dipandang semakin bertambah. Atas nama ukhuwah islamiyah, seorang melakukan sholat ied 2 kali, ada juga yang sekaligus jadi khatib juga. Namun, ketika dia sholat idul fitri yang kedua, ia niatkan sholat sunah dhuha. Tetapi apakah ada sunah dari nabi Muhammad, sholat dhuha itu 7 kali takbir pada rakaat pertama dan 5 kali takbir pada rakaat kedua. Dan sejak kapan sholat dhuha itu ada khutbahnya? Inilah yang dinilai bid’ah. Selain itu, ada masyarakat awam yang bersikap pragmatis, ketika puasa mengikuti pemerintah tetapi ketika lebaran bareng dengan yang puasanya duluan. Andaikata puasa kala itu 29 hari. Praktis, mereka berpuasa hanya 28 hari. Adakah Rasulullah berpuasa sebanyak 28 hari pada bulan ramadhan? Tentu hal tersebut dianggap bid’ah.
Jika awal dan akhir ramadhan itu seragam, tentu saja kemadharatan itu bisa diminimalisir. Lalu siapa yang berhak menyamakan bulan baru? Apakah organisasi atau Kementerian Agama?  bila ketetapan itu diserahkan kepada individu atau kelompok maka akan muncul keragaman seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan sempat diberikan oleh televisi, satu syawal ada empat hari pelaksanaan sholat idul fitri. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya mengikuti keputusan pemerintah selama ketetapan itu bukan maksiat kepada Tuhan. Dalam Alqur’an terdapat firman Allah,
Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Menanggapi sering beredarnya anggapan di masyarakat bahwa Ulil Amri adalah para pemimpin masing-masing golongan, ia menanggapi bahwa hal itu adalah penafsiran lokal. Sedangkan menurut para ahli tafsir pada umumnya ulil amri yang dimaksud adalah pemerintah.
Imam al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menukil sebuah atsar dari Sahal bin Abdullah at-Tastari mengatakan: Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh hal: mata uang yang sah, takaran, timbangan, hukum, haji, shalat jum’at, dua hari raya, dan jihad” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249).
Beliau pun mengatakan: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan ulama. Jika mereka menghormati keduanya, maka Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Dan jika mereka melecehkan keduanya, maka Allah akan merusak urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir Al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249).
Gampangnya orang menggunakan metode Rukyat dan Hisab, silahkan saja, namanya ijtihad. Yang Hisab menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya sekian. Lalu yang Rukyat menentukan sekian..sekian, mungkin ada perbedaan. Ya silahkan, itu juga namanya ijtihad. Kalau sampai di situ saja ya tidak masalah ijtihad nya.Karena ada titip persoalan lain yang ini kurang dipahami sebagian besar masyarakat termasuk kelompok-kelompok organisasi. Bahwa hak dalam menentukan Hari Raya dan hak mengumumkannya. Dalam hukum fikih, hak menentukan dan mengumumkannya itu adalah hak penguasa (ulil amry), dalam hal ini pemerintah.
Imam Abi Daud menyebutkan sebuah hadits :أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ Ada sekelompok orang datang kepada Rasulullah SAW dan bersaksi bahwa mereka telah melihat Hilal, kemudian Rasul memerintahkan untuk berbuka dan pergi ke masjid.
Hadits ini menyatakan yang berhak mengumumkan adalah Rasul, sebagai penguasa. Karena jika kafilah tersebut tidak menghadap kepada RAsul tentu tidak diumumkan utuk berbuka. Jadi Rasul ketika itu adalah sebagai ulul amri.
Dalam hukum fikih, jika ada seseorang mengaku melihat bulan, itu bisa terjadi dan boleh. Cuma yang dilarang, dia tidak boleh mengumumkan ke publik. Karena hak mengumumkan ke publik dalam hukum fikih itu wilayah penguasa. Jika dia melihat, tugas dia adalah melapor kepada penguasa. Jadi tidak boleh tiba-tiba diumumkan ke publik, “saya sudah melihat ayo kita mulai puasa atau lebaran.” Itu tidak boleh dilakukan karena itu wilayah dan hak ulil amry (penguasa).
Laporkan ke penguasa, jika kesaksiannya di terima baru diikuti. Jadi tidak boleh tiap-tiap person melakukan dengan keputusan sendiri.
Ada pula sebagian kelompok yang mengatakan tidak ada keharusan mengikuti pemerintah thoghut. Ini pendapat yang salah!. Hak mengumumkan itu hak penguasa. Apalagi jika dia (penguasa, red) masih melaksanakan dan memberikan hak-hak kaum Muslim sesuai syariat, wajib hukumnya kita patuh.
Apabila ada yang tetap ngotot dengan keputusannya sendiri dan tidak ikut pemerintah maka silahkan saja memulai puasa atau berhari raya, tapi dilarang mengumumkan ke publik, karena hak pengumuman ke publik itu tugas ulil amry. Seandainya saya melihat bulan, namun kesaksian saya tidak diterima, padahal saya meyakini itu, maka saya harus melakukan sendiri tidak boleh diumumkan.
Meskipun pemerintah telah menetapkan awal bulan. Namun Kementerian Agama masih memberikan kelonggaran terhadap keyakinan yang berbeda. Apakah ini wujud dari sikap toleransi? Saling menghormati perbedaan dan menjalani keyakinannya masing-masing. Namun, bukankah bila ketidaktegasan itu dibiarkan justru semakin lama akan menimbulkan perselisihan dan kebingungan pada masyarakat awam. Hukum jadi mengambang. Akibatnya muncul praktek yang dianggap bid’ah disana-sini. Dalam hadist diperintahkan taat kepada pemimpin,
Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka(HR. Muslim)
Marilah ormas-ormasi Islam mengkaji secara betul wewenang-wewenang mereka secara syariat ini. Apa yang menjadi wewenang penguasa, dan apa yang tidak menjadi wewenang mereka. Kalau tidak menjadi wewenang ormas yang jangan diambil. Karena ada hal-hal yang hanya kewenangan ulil amry (penguasa) yang tidak boleh kita ambil alih. Sebab jika kita ambil alih, maka akan kacau jadinya. Kenapa harus diserahkan penguasa? Karena muara syariat ini adalah penyatuan umat.